NUSAN.ID – Pengadilan Negeri Sorong kini menjadi panggung baru dalam drama absurd hukum Indonesia. Bayangkan, di era digital dan demokrasi, lembaga peradilan justru meluncurkan kebijakan eksklusif: Dilarang Memotret, Merekam, atau Sekadar Nampang di Halaman Pengadilan. Wartawan? Maaf, kalian harus lulus tes intelijen dulu.
Pada Selasa lalu, 3 Juni 2025, tokoh sekaligus seorang pewarta dan Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA., yang juga alumni Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 48 Lemhannas RI Tahun 2012, mendokumentasikan larangan tersebut dalam sebuah video.
Tautan video, Tonton di YouTube di link :
Hasilnya? Geger! Bukan karena isi persidangan yang mencengangkan, tapi karena adanya larangan mengambil gambar di gedung publik milik rakyat itu sendiri. Sebuah ironi yang sempurna: “Pengadilan Rakyat, tapi Rakyat Dilarang Tahu.”
Padahal, Pasal 4 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan jelas menyatakan bahwa pers berhak mencari dan menyebarkan informasi. Tapi rupanya di Sorong, ada undang-undang versi lokal: “UU Rasa Takut Diketahui Publik.”
“Mereka bekerja menurut hukum, tapi bukan hukum yang kita kenal,” sindir Wilson Lalengke, Ketua Umum PPWI, saat menanggapi peristiwa ini. Ia menambahkan, larangan itu tidak hanya bertentangan dengan hukum nasional, tapi juga merupakan bentuk nyata kriminalisasi terhadap fungsi jurnalistik.
Warga Sorong yang biasa melintas di halaman pengadilan pun mulai heran. “Saya kira itu markas militer, kok ada larangan kamera segala,” ujar seorang tukang ojek. Beberapa wartawan bahkan mengaku mulai takut membawa kamera karena dianggap sebagai alat perusak reputasi lembaga ironisnya, reputasi itu rusak bukan oleh kamera, tapi oleh kelakuan.
Jika peliputan sidang dianggap membahayakan, maka boleh jadi besok wartawan wajib pakai penutup mata dan sensor suara saat bekerja. Mungkin ke depan, ruang sidang akan dilengkapi mesin pendeteksi lensa, dan wartawan diwajibkan membawa surat izin menonton.
“Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, ini upaya sistematis membungkam akal sehat,” kata seorang pakar hukum informatika saat dimintai komentar via telepon, Kamis (5/6/2025). Ia menambahkan, dalam masyarakat modern, transparansi bukan pilihan, tapi kewajiban.
Publik mulai bertanya: mengapa lembaga yang seharusnya membuka keadilan malah menutup rapat akses informasi? Apakah ada yang perlu disembunyikan? Jika pengadilan memang berjalan adil, mengapa takut kamera?
Bukankah hakim juga manusia, dan manusia bisa keliru? Tapi tampaknya di Sorong, hakim tak boleh dikritik, hanya boleh disembah.
Kita hidup di zaman di mana ponsel bisa merekam segalanya, tapi pers dilarang merekam kebenaran. Ketika pengadilan mulai tertutup dan wartawan dibungkam, kita sebaiknya berhenti menyebut ini demokrasi dan mulai menyebutnya “demokrasi versi aman bagi penguasa.”
Sementara itu, rakyat hanya bisa berharap: semoga keadilan benar-benar ditegakkan, bukan sekadar dipertontonkan dalam sidang-sidang tertutup yang hanya boleh disaksikan oleh tembok dan bisikan kekuasaan. (SAD/Red)