NUSAN.ID – Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, kembali menyoroti independensi dan profesionalisme aparat kepolisian dalam menangani kasus hukum yang menimpa seorang jurnalis. Dalam percakapan melalui WhatsApp pada Kamis, 20 Februari 2025, dengan penyidik Polda Riau, Brigpol Yudha, Wilson mengingatkan agar Polri tidak terjebak dalam intervensi pihak luar, terutama terkait peran Dewan Pers dalam menentukan legalitas pemberitaan.
Percakapan dimulai dengan Brigpol Yudha yang menginformasikan bahwa pertemuan dengan Wilson Lalengke tidak dapat berlangsung karena adanya perintah mendadak.
“Selamat siang Pak… Mohon izin sebelumnya, sepertinya hari ini tidak bisa berjumpa Pak. Kebetulan barusan mendapat perintah ada kegiatan mendadak Pak,” tulis Yudha dalam pesan WhatsApp-nya.
Menanggapi hal tersebut, Wilson menekankan pentingnya pertimbangan matang dalam penanganan kasus jurnalis Leo Amaron, yang terancam menjadi tersangka atas dugaan pencemaran nama baik. Ia mengingatkan agar kepolisian tidak salah dalam mengambil keputusan.
“Jangan sampai salah menetapkan kebijakan dari teman-teman polisi. Kalau pun ada yang perlu saya bantu, nanti kontak aja. Tapi saya berharap jangan sampai dinaikkan jadi tersangka ya. Itu sangat berbahaya bagi kebebasan pers,” tegas Wilson.
Ia juga memperingatkan bahwa jika kasus ini dipaksakan naik ke tingkat penyidikan, ia siap membawa perkara ini ke Jakarta untuk diajukan praperadilan, bahkan menggugat Kapolri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dalam percakapan tersebut, Brigpol Yudha menyampaikan bahwa pihak kepolisian akan mengoordinasikan kasus ini dengan Dewan Pers sebelum mengambil keputusan lebih lanjut.
“Alangkah baiknya, kita cepat mewawancara Pak Leo Pak, supaya hasilnya kami sampaikan/koordinasikan ke ahli Dewan Pers Pak… karena segala sesuatunya tergantung hasil dari Dewan Pers Pak,” kata Yudha.
Namun, pernyataan ini langsung ditanggapi keras oleh Wilson Lalengke. Ia menegaskan bahwa Dewan Pers bukanlah lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk menentukan keabsahan aturan hukum di Indonesia.
“Dewan Pers itu bukan lembaga pemerintah yang menentukan aturan hukum. Itu hanya organisasi masyarakat, NGO, bukan lembaga negara. Kepolisian tidak boleh tergantung kepada Dewan Pers. Keputusan mereka tidak mengikat!” ujar Wilson dengan nada tegas.
Wilson juga mengkritik keras adanya Memorandum of Understanding (MoU) antara Polri dan Dewan Pers, yang menurutnya telah menempatkan lembaga swasta ini dalam posisi seolah-olah sebagai regulator hukum pers di Indonesia.
“Kapolri pimpinanmu itu TOLOL! Masa bikin MoU seperti itu dengan Dewan Pers? Siapa mereka? Kenapa lembaga negara harus tunduk pada lembaga swasta?” tambahnya dengan lantang.
Wilson menegaskan bahwa kepolisian harus bersikap independen dalam menangani kasus ini, bukan mengikuti keputusan Dewan Pers yang ia sebut sebagai lembaga “pecundang” dan tidak memiliki kewenangan sebagai regulator.
Ia juga menyoroti ketidakadilan dalam penegakan hukum terhadap wartawan, terutama terhadap jurnalis yang berani mengungkap kasus-kasus korupsi dan kejahatan lainnya.
“Dewan Pers itu sudah berkali-kali saya bilang, harus dibubarkan! Itu lembaga abal-abal yang dibentuk oleh kelompok tertentu. Tapi polisi kok takut? Wartawan korup yang jelas-jelas bermasalah saja tidak diproses,” sindirnya.
Wilson menegaskan bahwa jika Polri tetap bersikeras menetapkan Leo Amaron sebagai tersangka, ia tidak akan segan menggugat kepolisian, bahkan Presiden, di pengadilan.
“Kalau kalian tetap bersikukuh mempersoalkan wartawan, saya akan gugat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan! Saya tarik Presiden sekalian sebagai tergugat!” pungkasnya.
Percakapan ini menyoroti betapa pentingnya independensi kepolisian dalam menangani kasus yang melibatkan pers. Jika Polri tetap berpegang pada MoU dengan Dewan Pers, maka kebebasan pers di Indonesia akan terus terancam.
Kasus ini juga menunjukkan bahwa perlu ada evaluasi terhadap peran Dewan Pers dalam sistem hukum Indonesia. Apakah benar lembaga ini memiliki kewenangan dalam menentukan status hukum suatu berita, ataukah perannya seharusnya hanya sebatas advokasi dan mediasi?
Hingga kini, kasus Leo Amaron masih menjadi perhatian publik. Masyarakat dan komunitas pers pun menantikan langkah selanjutnya dari Polri: apakah akan tetap mengikuti Dewan Pers, atau berdiri independen dalam menegakkan hukum? (Tim/Red)