NUSAN.ID – Perseteruan antara pengusaha lokal Sorong, Labora Sitorus, dan perusahaan yang dikendalikan oleh warga negara asing, Paulus George Hung alias Mr. Ting-Ting Ho (Mr. Ching) kembali memanas. Kali ini, pertempuran hukum berlanjut ke meja hijau melalui gugatan perdata yang dilayangkan PT Bagus Jaya Abadi (BJA) ke Pengadilan Negeri Sorong Kelas 1B, Papua Barat Daya pada 23 April 2025 lalu.
Tanah yang menjadi objek sengketa terletak di Jalan Kapiten Pattimura, wilayah yang sebelumnya masuk Kelurahan Tanjung Kasuari dan kini berada di Kelurahan Suprau, Distrik Maladum Mes. Tanah tersebut telah dibeli secara sah oleh Labora Sitorus sejak tahun 2009 dari Drs. Anwar A. Rachman, yang sebelumnya mendapat pelepasan hak adat dari keluarga Bewela melalui Lembaga Masyarakat Adat (LMA).
Namun, secara mengejutkan, PT BJA kini mengklaim sebagai pemilik tanah dengan mengantongi surat pelepasan hak baru tertanggal 11 Januari 2013. Bagi tim kuasa hukum Labora, ini adalah ironi hukum yang menyakitkan.
“Ada Upaya Membabi Buta Serobot Tanah Orang”
Advokat H. Alfan Sari, SH., MH., MM, kuasa hukum Labora Sitorus, menyebut apa yang dilakukan oleh PT BJA dan pemiliknya sebagai “aksi membabi buta yang dibungkus kepentingan bisnis, namun beraroma keserakahan.” pada Sabtu (7/6/2025).
“Tanah itu dibeli sah tahun 2009. Bagaimana bisa di tahun 2013 ada yang jual lagi lahan yang sama? Ini bukan soal siapa yang lebih kuat modal, tapi siapa yang benar secara hukum dan adat,” tegas Alfan, yang juga dikenal sebagai praktisi bela diri Shorinji Kempo dengan sabuk hitam.
Menurutnya, negara tidak boleh diam. Ia menekankan bahwa negara wajib hadir memberi rasa aman dan perlindungan hukum terhadap hak milik rakyatnya, apalagi terhadap pengusaha lokal yang beritikad baik dan sudah mengikuti prosedur formal dan adat.
Lebih jauh, Simon Maurits Soren, SH., MH., rekan Alfan dalam tim hukum Labora, menilai gugatan BJA sebagai bentuk penyerobotan terstruktur yang memanfaatkan celah administratif. Terlebih, pihak PT BJA disebut-sebut telah melakukan reklamasi (penimbunan) tanpa dasar hukum yang kuat, hanya mengandalkan izin lokasi yang patut dipertanyakan keabsahannya.
“Kami sudah resmi melapor ke Polresta Sorong Kota pada 28 Mei 2025 lalu atas dugaan penyerobotan lahan oleh Mr. Ting-Ting Ho,” ungkap Simon, pria asli Papua yang dikenal tegas dan vokal.
Berdasarkan Surat Tanda Penerimaan Laporan (STPL) Nomor: LP/B/359/V/2025/SPKT/POLRESTA SORONG KOTA, lokasi yang diserobot berada di Jl. Lorong Dekat Dermaga Fitas, Kelurahan Suprau, dengan terlapor utama adalah Paulus George Hung alias Mr. Ching.
Simon menyebut, langkah hukum ini diambil bukan hanya demi membela klien mereka, tetapi juga sebagai bentuk panggilan moral untuk menjaga integritas hukum dan wibawa aparat penegak hukum di tanah Papua Barat Daya.
“Kami tidak akan biarkan pengusaha lokal diintimidasi oleh pemodal besar. Jangan sampai hukum kita jadi alat permainan bagi yang punya kuasa, tapi tidak punya hak,” tegasnya.
Kasus ini menjadi ujian serius bagi lembaga peradilan dan aparat penegak hukum di Papua Barat Daya. Banyak pihak kini menyoroti bagaimana mungkin sengketa lahan bisa diproses, padahal pihak penggugat belum memiliki sertifikat apapun—baik HGB, HGU, apalagi hak milik (SHM).
Masyarakat berharap Pengadilan Negeri Sorong bisa bersikap adil dan objektif, serta tidak tunduk pada tekanan modal atau pengaruh asing dalam kasus ini.
Dalam pandangan hukum, negara memiliki tanggung jawab konstitusional dan yuridis untuk melindungi hak-hak warga negara, terutama dalam kasus seperti sengketa tanah antara warga lokal dan korporasi (terlebih bila melibatkan pihak asing). Berikut adalah beberapa hal yang seharusnya dilakukan oleh negara, berdasarkan prinsip hukum nasional dan internasional:
1. Menegakkan Hak Kepemilikan yang Sah.
Negara wajib melindungi hak milik seseorang yang diperoleh secara sah menurut hukum (Pasal 28H ayat (4) UUD 1945).
Jika Labora Sitorus telah membeli tanah itu secara legal dan dapat dibuktikan dengan dokumen sah, negara tidak boleh membiarkan pihak lain melakukan penyerobotan atau menggugat tanpa dasar kuat.
2. Menindak Tegas Penyerobotan Tanah.
Penyerobotan tanah termasuk tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 385 KUHP.
Aparat penegak hukum harus:
– Segera memproses laporan dugaan penyerobotan.
– Memeriksa legalitas dasar kepemilikan yang diklaim oleh pihak tergugat atau penggugat.
3. Mengevaluasi dan Menertibkan Kebijakan Perizinan.
Jika pihak asing atau korporasi memperoleh izin reklamasi atau pemanfaatan lahan tanpa dasar kepemilikan yang sah, maka Pemda/Walikota harus dievaluasi.
Negara perlu menyelidiki apakah ada penyalahgunaan wewenang dalam pemberian izin oleh pejabat daerah.
4. Menghindari Konflik Hukum Ganda
Jika terdapat dua surat pelepasan hak atas satu bidang tanah yang sama, negara melalui BPN (Badan Pertanahan Nasional) wajib:
– Menelusuri kronologi dan validitas dokumen.
– Mencabut surat yang cacat hukum.
– Memberikan perlindungan hukum kepada pemilik sah.
5. Memberikan Kepastian dan Keadilan Hukum.
Negara harus menjamin bahwa proses hukum:
– Bersifat netral, tidak memihak pihak yang lebih kuat secara ekonomi/politik.
– Berbasis pada prinsip keadilan dan due process of law.
– Negara juga harus menolak gugatan yang tidak memiliki dasar hukum yang cukup kuat (misalnya tanpa bukti sertifikat sah), sesuai asas “tidak ada gugatan tanpa kepentingan hukum” (point d’intérêt, point d’action).
6. Menjaga Kedaulatan Hukum Nasional dari Intervensi Asing.
Jika pelapor adalah warga negara Indonesia (WNI) dan pelaku adalah WNA (misalnya Mr. Ting-Ting Ho), maka negara berkewajiban melindungi kepentingan rakyatnya dari penetrasi asing, sebagaimana dijamin oleh prinsip lex patriae (hukum melindungi warga negaranya sendiri).
7. Menggunakan Lembaga Pengawasan seperti KPK dan Ombudsman.
Bila ada dugaan penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat dalam menerbitkan izin, maka KPK atau Ombudsman RI wajib turun tangan.
Negara harus bersikap proaktif, tidak menunggu sampai konflik membesar atau menjadi kasus nasional.
Negara harus hadir bukan hanya sebagai wasit, tapi sebagai pelindung aktif hak-hak rakyat, terutama terhadap tindakan sewenang-wenang oleh korporasi atau WNA. Kepastian hukum, perlindungan atas hak milik, dan penegakan keadilan menjadi tanggung jawab utama negara dalam sistem hukum modern. (TIM/Red)