NUSAN ID – Dunia jurnalisme kembali menghadapi ujian berat terkait integritas. Fenomena keterlibatan wartawan dalam tim sukses (timses) calon kepala daerah (cakada) semakin menimbulkan kekhawatiran. Keberpihakan yang jelas pada kandidat tertentu berpotensi merusak independensi dan objektivitas pemberitaan, yang merupakan fondasi utama profesi wartawan. Lebih mengkhawatirkan lagi, keberpihakan ini cenderung berlanjut pasca-pilkada, dengan timses yang sering kali melakukan intervensi terhadap media yang dianggap kurang mendukung.
Hilangnya integritas seorang wartawan dapat mengikis kepercayaan publik terhadap media. Masyarakat akan meragukan kebenaran dan keberimbangan informasi yang disajikan, karena adanya potensi bias dan kepentingan politik yang menyertainya. Wartawan, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mengawal demokrasi dan memberikan informasi yang akurat, justru terkooptasi dalam kepentingan politik praktis.
Keterlibatan wartawan dalam tim sukses cakada berpotensi melanggar Kode Etik Jurnalistik. Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik secara tegas menyatakan bahwa wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Keberpihakan pada kandidat tertentu jelas bertentangan dengan prinsip independensi dan objektivitas yang diamanatkan dalam kode etik tersebut.
Advokat H. Alfan Sari, S.H., M.H., M.M., seorang pengamat hukum media, memberikan pandangannya terkait permasalahan ini. Menurutnya, wartawan yang terlibat dalam tim sukses cakada dapat dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 6 ayat (1) undang-undang ini menyatakan bahwa pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Namun, hak tersebut harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan tidak melanggar etika profesi.
“Wartawan memiliki hak untuk berpolitik, namun hak tersebut tidak boleh dicampuradukkan dengan profesinya sebagai jurnalis. Ketika seorang wartawan menjadi bagian dari tim sukses cakada, maka ia telah mengorbankan independensi dan objektivitasnya sebagai wartawan,” ujar H. Alfan Sari. Ia menambahkan, batasan antara hak pribadi dan profesionalisme sering kali kabur dalam situasi ini.
Lebih lanjut, H. Alfan Sari menyoroti bahwa keberpihakan timses kian menjadi masalah ketika calon yang didukung memenangkan pilkada. “Setelah kemenangan, timses sering kali melakukan intervensi terhadap media yang dianggap tidak mendukung selama masa kampanye. Intervensi ini dapat berupa tekanan, ancaman, hingga pembatasan akses informasi,” ungkap H. Alfan Sari. Praktik ini tentu saja mencederai kebebasan pers dan menghambat penyampaian informasi yang akurat kepada publik.
H. Alfan Sari menambahkan bahwa Dewan Pers memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi kepada wartawan atau media yang melanggar Kode Etik Jurnalistik. Sanksi tersebut dapat berupa teguran, peringatan keras, hingga pencabutan sertifikasi kompetensi wartawan. “Dewan Pers harus bertindak tegas dalam menindak wartawan yang terlibat dalam tim sukses cakada dan media yang melakukan intervensi terhadap media lain. Hal ini penting untuk menjaga marwah profesi wartawan dan kepercayaan publik terhadap media,” tegas H. Alfan Sari.
Fenomena wartawan yang terlibat dalam tim sukses cakada menjadi tantangan serius bagi dunia jurnalisme di Indonesia. Perlu adanya kesadaran dan komitmen dari seluruh wartawan untuk menjaga integritas dan independensi profesi, serta menjauhi segala bentuk kepentingan politik yang dapat mengancam objektivitas pemberitaan. Masyarakat juga diharapkan lebih kritis dalam memilih dan memilah informasi yang disajikan oleh media, serta tidak mudah terprovokasi oleh berita-berita yang bias dan tidak berimbang.
Advokat Alfan Sari, S.H., M.H., M.M., menambahkan, “Secara profesi, tugas pokok dan fungsi wartawan adalah bekerja untuk kepentingan publik. Namun, ketika bergabung menjadi tim sukses atau maju di bursa caleg dan pilkada, maka sudah dipastikan menyalahi prinsip tersebut.”
Meskipun tidak ada aturan khusus yang secara eksplisit melarang keterlibatan dalam kegiatan politik praktis di dalam UU Pers, namun secara etika, wartawan yang bersangkutan idealnya dapat memposisikan diri secara tegas dan mengambil sikap yang jelas. “Jika seorang wartawan yang seharusnya menjadi lentera publik untuk mendapatkan penerangan, terlibat dalam politik praktis, tentunya akan ternodai dan terjadi conflict of interest yang berpotensi memengaruhi keputusan atau tindakan profesionalnya, sehingga mengurangi objektivitas,” pungkasnya. (rel/red)



















