NUSAN.ID – Di dalam istana megahnya, Fir’aun duduk di singgasana dengan wajah muram. Laut dan udara, dua elemen yang selama ini ia klaim sebagai miliknya, kini tak lagi menjadi simbol kekuasaan absolut nya. 0000a /sekelompok manusia dari negeri bernama Indonesia yang tampaknya mulai menyaingi kehebatannya.
“Apa maksudmu, mereka bisa mengkapling laut dan udara?” Fir’aun bertanya kepada penasihatnya, wajahnya penuh amarah.
Penasihatnya, seorang lelaki kurus dengan jubah emas, membungkuk hormat sebelum menjawab, “Paduka, dahulu hanya Anda yang berani mengklaim kepemilikan atas laut dan udara. Namun, di negeri Indonesia, para pejabatnya telah berhasil membagi-bagi laut untuk proyek reklamasi dan perizinan kapal asing. Bahkan udara pun kini punya tarif sendiri—mereka menyewakan frekuensi, ruang udara, bahkan memperjualbelikan hak terbang di langit Nusantara!”
Mata Fir’aun membelalak. “Mereka berani menyaingiku? Aku yang membelah lautan dengan tongkat Musa di belakangku! Aku yang memerintahkan angin dan langit tunduk padaku!”
Penasihatnya kembali mengangguk. “Benar, Paduka. Namun, mereka melakukannya tanpa perlu membelah laut atau mengendalikan angin. Mereka cukup menandatangani beberapa lembar surat, mengadakan rapat dengan investor, dan dalam semalam, laut dan udara itu berpindah tangan kepada siapa pun yang membayar harga tertinggi.”
Fir’aun mengelus dagunya, matanya menyipit. “Hebat juga mereka. Aku harus belajar dari mereka! Bawa aku ke negeri itu!”
Maka dengan kekuatan magisnya, Fir’aun dan penasihatnya menembus dimensi dan tiba di sebuah ruang pertemuan para pejabat. Di sana, mereka menyaksikan diskusi serius tentang izin tambang bawah laut, pemanfaatan ruang udara untuk satelit swasta, dan proyek reklamasi pulau pribadi.
Fir’aun, yang awalnya murka, perlahan mulai tersenyum. “Aku kira aku yang paling serakah, tapi ternyata… mereka lebih lihai dariku!” katanya dengan takjub.
Penasihatnya berbisik, “Mungkin mereka tidak mengaku sebagai dewa seperti Anda, Paduka. Tapi dalam hal kekuasaan dan kepemilikan, mereka jauh lebih kreatif!”
Fir’aun terkekeh, lalu menghela napas panjang. “Baiklah. Aku tak akan marah lagi. Jika aku masih hidup di era ini, mungkin aku akan berguru pada mereka!”
Dan sejak saat itu, Fir’aun tidak lagi merasa sebagai satu-satunya penguasa yang bisa mengkapling laut dan udara. Sebab, di negeri yang jauh, ada sekelompok manusia yang bisa melakukannya tanpa sihir dan tongkat ajaib—cukup dengan pena dan tanda tangan. (*)
Oleh; Syarif Al Dhin