NUSAN.ID – Polemik tambang emas PT Masmindo Dwi Area (MDA) di Kecamatan Latimojong, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, kembali memanas. Kali ini bukan hanya soal lahan dan kontrak karya, tapi juga menyentuh pada kredibilitas dan kehormatan tokoh adat serta akademisi. Diduga, penyelesaian konflik antara perusahaan dan warga pemilik lahan tidak hanya mandek, tetapi malah diwarnai tuduhan sepihak dan potensi kriminalisasi.
Yasir Tandulangi, ahli waris keluarga adat Bajuallo Pasande, mengaku telah beberapa kali dijanjikan oleh pihak legal perusahaan—yakni Rezki dan Ibu Tara—untuk menyelesaikan persoalan lahan secara damai. Namun, hingga pertengahan 2025, janji tinggal janji. Tak ada satu pun bentuk realisasi penyelesaian yang dilakukan pihak PT Masmindo.
Ironisnya, alih-alih menyelesaikan masalah, Firdaus, yang disebut sebagai mantan Direktur Site Lane PT Masmindo Dwi Area (MDA), justru menuding Yasir Tandulangi telah menjual seluruh lahan kepada pihak lain, dalam hal ini kepada Azis Sangga dan rekan-rekannya. Akibatnya, PT Masmindo disebut telah melakukan pembayaran kepada pihak yang secara hukum tidak memiliki hak atas tanah tersebut.
“Kalau memang benar begitu, kami tantang PT Masmindo Dwi Area (MDA), Azis Sangga, bahkan pemerintah Kabupaten Luwu dan pemangku adat untuk buka-bukaan data. Mari kita buka kontrak karya 1998 dan lihat siapa pemilik sah secara hukum. Jangan lempar fitnah tanpa dasar,” tegas Yasir kepada media, Selasa (17/6/2025).
Lebih jauh, Yasir menyebut bahwa tuduhan dan tindakan sepihak PT Masmindo Dwi Area (MDA) bukan hanya merugikan dirinya secara hukum, tetapi juga telah mencemarkan nama baik keluarga besar Tandulangi, termasuk Asst. Prof. Dr. Basir Tosagena Tandulangi, SE., MM., yang juga dosen Pascasarjana Ilmu Kepolisian Republik Indonesia.
Dr. Basir diduga difitnah oleh mantan Direktur PT Masmindo Dwi Area (MDA), Abidin Dg. Patompo, melalui percakapan telepon yang menyebutkan bahwa dirinya telah menyerahkan seluruh tanah dalam kawasan kontrak karya PT Masmindo Dwi Area (MDA) kepada masyarakat pada awal tahun 2022. Tidak hanya itu, beredar pula tudingan bahwa Dr. Basir menerima uang puluhan miliar dari PT Masmindo Dwi Area (MDA) melalui pengacara bernama Andi Mursyad, dalam rekaman percakapan via telepon pada tahun 2023.
“Itu fitnah keji! Saya tidak pernah menerima satu sen pun dari Masmindo. Saya bukan calo tanah, saya pendidik dan pejuang hak adat,” tegas Dr. Basir dalam pernyataan terpisah. Ia menambahkan bahwa pihaknya telah melaporkan kasus pencemaran nama baik ini ke Polres Batu Malang, Surabaya, Jawa Timur. Namun, hingga saat ini, laporan tersebut belum ditindaklanjuti.
Pihak keluarga menduga kuat adanya intervensi dari oknum perusahaan untuk meredam laporan tersebut.
Basir dituding oleh mantan Direktur PT Masmindo Dwi Area, Abidin Dg. Patompo, telah menyerahkan seluruh tanah dalam wilayah Kontrak Karya Masmindo kepada masyarakat secara tidak sah melalui percakapan telepon. Lebih lanjut, pengacara Andi Mursyad, menyebut Basir menerima puluhan miliar rupiah dari PT Masmindo—tuduhan yang tidak pernah terbukti secara hukum.
Laporan resmi telah diajukan ke Polres Batu, Malang, Jawa Timur sejak tahun 2023. Namun, hingga pertengahan 2025 ini, tidak ada perkembangan signifikan atau proses hukum yang dijalankan. Fakta ini menimbulkan kecurigaan adanya permainan oknum kepolisian yang diduga “membekingi” pihak perusahaan.
“Ini mencurigakan. Sudah satu tahun lebih laporan kami mandek di Polres Batu. Tidak ada pemeriksaan saksi, tidak ada pemanggilan terhadap terlapor. Kami menduga kuat ada campur tangan pihak perusahaan agar proses hukum ini dipetieskan,” ujar Yasir Tandulangi.
Dugaan intervensi aparat kian menguat ketika salah satu anggota keluarga Tandulangi yang ikut mendampingi pelaporan mengaku ditekan secara halus oleh seseorang yang mengaku aparat untuk mencabut laporan.
“Kami tidak gentar. Ini tanah leluhur kami, dan kami akan lawan segala bentuk rekayasa dan kriminalisasi,” tegas Yasir Tandulangi, salah satu ahli waris tanah yang disengketakan.
Pasal 25 dan 26 UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan dengan tegas mewajibkan perusahaan tambang untuk membayar ganti kerugian terlebih dahulu kepada pemilik sah tanah sebelum kegiatan pertambangan dimulai. Namun, dalam kasus Masmindo, hak-hak tersebut diduga diabaikan dan dialihkan secara manipulatif kepada pihak-pihak yang tidak memiliki legitimasi hukum.
Dr. Basir bahkan menyebut tuduhan terhadap dirinya sebagai “operasi karakter yang dirancang untuk memecah belah klaim tanah” dan mengalihkan tanggung jawab hukum perusahaan.
“Saya tidak pernah menyerahkan lahan itu kepada siapa pun. Saya tidak pernah menerima uang dari perusahaan. Dan saya siap menghadapi siapa pun di pengadilan. Tapi jangan libatkan fitnah dan kriminalisasi terhadap intelektual,” tegas Basir.
Yasir dan keluarga besar Tandulangi berharap agar negara, melalui aparat penegak hukum dan Kementerian ESDM, bertindak tegas dan adil.
“Kami ingin negara menegakkan hukum, bukan berpihak pada kekuasaan atau uang. Kontrak karya bukan rahasia negara. Sebagai pemilik hak tanah, kami berhak tahu isi lengkap kontrak karya 1998 beserta addendumnya. Itu amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967,” tegas Yasir.
Pasal 25 dan 26 UU Nomor 11 Tahun 1967 mewajibkan perusahaan tambang memberikan ganti kerugian terlebih dahulu kepada pemilik tanah sebelum kegiatan dimulai. Dalam hal ini, menurut pihak keluarga, PT Masmindo Dwi Area (MDA) justru mengabaikan amanat hukum tersebut selama bertahun-tahun.
Pengamat hukum pertambangan menilai kasus ini dapat menjadi pintu masuk bagi negara untuk melakukan audit menyeluruh terhadap izin dan pelaksanaan kontrak karya PT Masmindo. Jika terbukti ada pelanggaran atau pembayaran kepada pihak yang tidak berhak, maka tindakan pidana dan perdata bisa dijeratkan kepada manajemen perusahaan.
“Masalah ini tidak bisa dibiarkan. Negara tidak boleh kalah dengan konglomerasi tambang. Harus ada keberpihakan terhadap hukum dan rakyat yang terpinggirkan,” kata seorang pakar hukum pertambangan yang enggan disebut namanya.
Konflik antara PT Masmindo Dwi Area (MDA) dan keluarga Tandulangi membuka mata banyak pihak tentang masih lemahnya perlindungan terhadap hak-hak masyarakat lokal, bahkan dalam proyek berskala nasional. Ketika kontrak karya diselimuti kabut kerahasiaan dan penyelesaian digantikan dengan fitnah serta intimidasi, saat itulah negara harus hadir bukan sebagai penggembira, tapi sebagai pelindung keadilan.
Dihubungi secara terpisah, beberapa pakar hukum pertanahan dan pertambangan, menyatakan bahwa dalam konteks hukum Indonesia, Kontrak Karya (KK) bukanlah dalih untuk mengabaikan hak-hak keperdataan atas tanah milik masyarakat, terutama yang telah dikuasai secara turun-temurun.
“Kontrak Karya memang produk hukum antara negara dan korporasi. Namun, pasal 25 dan 26 UU No. 11 Tahun 1967 secara eksplisit menyatakan bahwa pemegang kuasa pertambangan wajib memberikan ganti rugi atau jaminan terlebih dahulu kepada pemilik tanah, bahkan sebelum pekerjaan dimulai,” ujar pakar tersebut.
Menurutnya, jika benar PT Masmindo membayar kepada pihak lain yang tidak memiliki legitimasi hukum sebagai pemilik lahan, maka perusahaan tersebut dapat digugat secara perdata karena Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
“Dalam ilmu hukum perdata, tindakan memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada pihak yang bukan pemilik sah, apalagi jika disertai itikad buruk, bisa masuk dalam kategori PMH sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa ketertutupan terhadap dokumen Kontrak Karya tahun 1998, termasuk addendumnya, bukan hanya merugikan warga yang memiliki hak atas tanah, tapi juga bertentangan dengan semangat transparansi publik yang dijamin dalam UU Keterbukaan Informasi Publik (UU No. 14 Tahun 2008).
“Tidak ada alasan hukum bagi Kementerian ESDM maupun PT Masmindo Dwi Area (MDA) untuk merahasiakan Kontrak Karya dari pemilik tanah. Mereka berhak tahu apa isi kontrak yang menyangkut lahan mereka. Ini bukan rahasia negara, melainkan urusan hajat hidup orang banyak,” tegasnya.
Pakar itu juga menyarankan agar pihak keluarga Tandulangi menggandeng lembaga pengawasan seperti Ombudsman RI, dan jika perlu mengajukan uji materiil ke Mahkamah Agung apabila ditemukan Peraturan Menteri atau Keputusan yang menutup akses informasi tersebut. (SAD/Red)