NUSAN.ID – Sebuah daerah yang mungkin selama ini tak banyak diperbincangkan di jagat nasional, mendadak menjadi pusat perhatian. Insiden berdarah yang melibatkan aparat kepolisian dan TNI menjadi headline di berbagai media. Bagi orang luar, narasinya sederhana: polisi menjadi korban, TNI terlihat brutal. Tapi bagi warga setempat, ceritanya jauh lebih kompleks, curhat pewarta warga Indonesia PPWI Way Kanan, Selasa (18/3/2025).
*Duka Cita di Permukaan, Kegelisahan di Bawahnya*
Pewarta warga, selebriti, dan politisi berlomba-lomba mengungkapkan belasungkawa di media sosial. “Secara pribadi, saya turut berduka cita atas insiden meninggalnya tiga orang aparat polisi di Way Kanan,” tulis salah seorang pewarta warga.
Namun, di balik kalimat-kalimat simpati itu, ada desas-desus yang beredar di antara warga. Desas-desus yang bagi mereka bukan sekadar kabar burung, melainkan realitas pahit yang telah lama mereka telan.
*Dari Minyak Eceran ke ‘Damai’ Puluhan Juta*
Salah satu pemicu kemarahan yang berujung tragedi ini adalah sebuah peristiwa lima hari sebelumnya. Seorang pedagang kecil, yang sekadar menjual minyak eceran, digerebek oleh aparat. Barang bukti? Tiga jerigen minyak. Namun, hukum di lapangan ternyata tak sekaku hukum di kitab undang-undang.
Bukan ditindak sesuai prosedur, sang pedagang malah diajak “berdamai.” Tarifnya? Awalnya 40 juta, dinego 10 juta, tak disetujui atasan, lalu final di angka 25 juta. Tak punya uang, si pedagang sampai menjual motornya demi memenuhi “uang damai” itu.
Dalam suasana bulan puasa, mendekati Lebaran, angka 25 juta tentu bukan sekadar nominal. Itu adalah darah dan keringat, hasil perasan terhadap rakyat kecil. Dan yang lebih ironis, sang pedagang sudah rutin “setor” 1,5 hingga 3 juta per bulan. Namun kali ini, yang menggerebek bukan polisi yang biasa ia bayar.
*Ketika ‘Coklat’ Usil ke Lapak ‘Loreng’*
Puncaknya terjadi saat beberapa anggota polisi menggerebek arena sabung ayam. Mungkin ini sekadar operasi biasa bagi mereka—atau, lebih realistisnya, operasi tambahan THR. Yang mereka lupa, lapak yang mereka usik bukan sembarang tempat.
Lapak itu milik seorang “loreng.” Mungkin selama ini loreng tak pernah mengusik coklat. Tapi kali ini, coklat yang usil lebih dulu. Dan ketika coklat bertemu lawan, akibatnya fatal.
Bagi orang luar, ini tampak seperti insiden tragis semata. Tapi bagi warga, ini adalah “hukum sebab-akibat.”
Media sosial kini penuh dengan narasi bahwa polisi adalah korban, dizalimi tanpa sebab. Namun di sisi lain, di kampung-kampung sekitar Way Kanan, anggota TNI yang terlibat justru dianggap pahlawan. Mereka dianggap telah “membersihkan” sesuatu yang selama ini sulit tersentuh.
Mungkin ini bukan sekadar bentrok antar-aparat. Ini adalah letusan dari ketidakadilan yang menumpuk.
Apakah ini sekadar insiden? Ataukah ini adalah akumulasi dari praktik-praktik lama yang akhirnya memicu ledakan?
Yang jelas, doa dan jeritan si miskin yang kehilangan 25 juta karena tiga jerigen pertalite, mungkin telah sampai ke langit.
Dan hasilnya, ada tiga nyawa melayang.
Semoga kejadian ini membuka mata lebih banyak orang bahwa hukum harus ditegakkan dengan adil. Bukan sekadar siapa yang lebih kuat atau siapa yang lebih punya kuasa. (Tim/Red)