NUSAN.ID – Dunia pendidikan Kabupaten Ogan Ilir kembali tercoreng oleh ulah segelintir oknum yang mengaku wartawan, namun perilakunya jauh dari nilai-nilai jurnalistik. Sebuah dugaan pemerasan berkedok kerja sama media mencuat, menyeret nama seorang oknum wartawan media online TP, yang diduga mengatur skema mark up dana kerja sama dengan sejumlah Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) di wilayah tersebut.
Ketua Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Ogan Ilir, Fidel Castro, dengan tegas menilai praktik tersebut sebagai pengkhianatan terhadap profesi pers dan kejahatan terhadap dunia pendidikan.
“Jurnalis itu seharusnya mengabdi pada kebenaran dan nurani rakyat, bukan memperjualbelikan berita dengan modus kerja sama. Ini bukan hanya mencoreng nama profesi, tapi juga bentuk pemerasan yang harus diusut tuntas,” tegas Fidel, Rabu, (5/11/2025).
Modus Licik Berkedok Kerja Sama
Praktik ini dijalankan secara sistematis. Oknum media online TP mendatangi sejumlah sekolah, menawarkan “kerja sama publikasi” dengan iming-iming pemberitaan positif dan promosi citra sekolah di media online. Kesepakatan kemudian diformalkan dalam Memorandum of Understanding (MOU) agar tampak sah. Namun, di balik dokumen itu tersembunyi pungutan liar yang dibungkus profesionalitas.
Sumber internal kepala sekolah yang enggan disebutkan namanya menyebut, setiap sekolah dipatok biaya Rp200.000 per bulan, dibayar triwulan sebesar Rp600.000. “Dana itu diambil dari anggaran sekolah tahun 2025, dan kami merasa terbebani. Uang yang seharusnya untuk pengembangan mutu pendidikan malah habis untuk memenuhi permintaan ‘kerja sama’ media,” ungkapnya.
Citra Pers Dirusak oleh Oknum Serakah
Bagi PPWI Ogan Ilir, tindakan semacam ini bukan lagi sekadar pelanggaran etik, tetapi kejahatan moral yang meruntuhkan kepercayaan publik terhadap pers. Profesi wartawan yang seharusnya menjaga nurani publik justru dijadikan alat untuk menekan dan menakut-nakuti lembaga pendidikan.
“Oknum seperti ini ibarat racun dalam tubuh pers. Mereka memanfaatkan atribut wartawan untuk memeras, bukan untuk membela kepentingan rakyat. Ini harus dibersihkan agar dunia pers kembali bermartabat,” kata Fidel. Menambahkan komentarnya, Fidel juga menyatakan, “Media cetak saja yang ada fisik korannya hanya Rp50.000 per bulan, masak ini media online yang tak ada fisik korannya Rp200.000 per bulan? Sangat tidak masuk akal!”
PPWI menilai, praktik semacam ini terjadi karena lemahnya pengawasan internal media dan abainya penegakan hukum terhadap penyalahgunaan profesi jurnalistik.
Hukum Harus Bicara, Jangan Diam
PPWI Ogan Ilir mendesak aparat penegak hukum untuk tidak tinggal diam. Dugaan mark up dan pemerasan terhadap lembaga pendidikan merupakan tindak pidana yang jelas melanggar hukum.
“Kalau wartawan sudah menjadi algojo bagi sekolah, lalu siapa lagi yang akan melindungi dunia pendidikan kita?” tegas Fidel dengan nada getir.
PPWI Ogan Ilir siap mendampingi pihak sekolah yang menjadi korban agar berani melapor tanpa takut intimidasi.
“Kami bukan hanya bicara, kami akan berdiri di depan. Oknum yang mempermalukan profesi ini harus ditindak setegas-tegasnya,” tambahnya.
Peringatan Keras untuk Dunia Pers
Kasus ini menjadi peringatan keras bagi seluruh insan pers, khususnya di Ogan Ilir. Pers bukan alat tukar, bukan jalan pintas mencari keuntungan pribadi. Pers adalah pilar demokrasi, dan siapa pun yang merusak pilar itu sama saja mengguncang sendi kepercayaan rakyat terhadap media.
Dunia pendidikan seharusnya menjadi tempat lahirnya generasi cerdas dan berintegritas — bukan ladang peras bagi segelintir orang berseragam pers yang lupa diri.
Kini publik menunggu: Apakah aparat hukum berani menegakkan keadilan, atau kembali menutup mata atas permainan busuk yang merendahkan profesi mulia ini?
(Tim/Red)


















