(Ahmad Basri: Ketua K3PP Tubaba)
Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Sumatera Utara ( Sumut) yang menyeret beberapa pejabat, termasuk Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) kembali membuka mata publik tentang betapa rentannya sektor infrastruktur terhadap praktik korupsi.
Fakta ini sebenarnya bukan hal baru. Justru publik sudah lama mengetahui bahwa Dinas PUPR adalah “ladang basah” bukan ladang “kering” yang menjadi arena permainan kotor bagi banyak pejabat dan pengusaha.
Mereka yang menduduki posisi penting di Dinas PUPR adalah orang kepercayaan Kepala Daerah. Asumsi tersebut sudah lama berkembang di tengah publik. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk mengkondisikan proyek – proyek yang ada. Namun tidak semua Kepala Daerah “culas” yang jujur, adil, amanah masih banyak.
Siapa yang tidak ingin menjadi Kepala Dinas PUPR, Sekretaris atau Kabag pastinya berebut. Di banyak daerah jabatan tersebut menjadi incaran daripada posisi strategis lain karena potensi ekonominya yang luar biasa. Tak sedikit yang menempuh cara-cara tidak etis demi menduduki jabatan tersebut baik melalui jalur profesional, politis, maupun praktik “gaib” seperti sogokan atau lobi politis tingkat tinggi.
Karena jabatan tersebut bukan sekadar posisi birokrasi tapi juga akses menuju kekayaan cepat saji. Lihatlah Kepala Dinas PUPR Sumut baru beberapa pekan menjabat sudah terkena OTT KPK dan pertanyaannya bagaimana yang sudah lama menduduki jabatan hingga 4 – 5 tahun lamanya. Tidak bisa membayangkan apa yang dilakukannya.
Dari beberapa kajian tak kurang dari 35–40% alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) disalurkan ke Dinas PUPR. Artinya, hampir separuh uang rakyat dalam APBD dipercayakan untuk dikelola oleh satu dinas ini saja. Jauh dengan dinas – dinas lainnya.
Maka tak heran jika korupsi terbesar dalam konteks daerah biasanya berakar dari proyek-proyek yang digarap Dinas PUPR. Hal ini dipertegas juga dalam buku berjudul “korupsi di daerah” karangan Supeno.
Modusnya beragam namun pola umumnya terus berulang seperti mark-up anggaran, pengkondisian pemenang tender, proyek fiktif, fee proyek, hingga kolusi antara kontraktor, kepala daerah, legislatif, dan pejabat pengadaan.
Disinyalir bahkan lembaga pengawasan internal seperti inspektorat kerap kali tidak berdaya atau lebih tepatnya dan diduga ikut “bermain mata” menerima setoran. Dalam konteks pemberantasan korupsi di daerah peran Inspektorat dalam bidang pengawasan masih sangat lemah.
Mengapa OTT KPK terhadap di Dinas PUPR di Sumut ini menjadi penting sebagai bahan diskursus atau kajian. Juru Bicara KPK menyatakan bahwa OTT tersebut dilakukan setelah menerima laporan dari masyarakat. Terkait proyek pembangunan jalan yang buruk “amburadul” jelek dan tidak sesuai spesifikasi.
Hemat penulis sederhana jika ukuran tindakan OTT KPK hanya bersandar pada laporan masyarakat semata, setidaknya dapat dikatakan hampir seluruh proyek jalan di Indonesia layak diperiksa. Publik bisa menyebutkan ratusan proyek jalan yang baru dibangun tapi sudah rusak, dan tidak terkecuali termasuk di Dinas PUPR Tulang Bawang Barat (Tubaba)
Artinya bahwa KPK bersedia dan harus menurunkan tim investigasi ke daerah-daerah, tanpa harus menunggu laporan resmi dari masyarakat, serta sangat mungkin ditemukan ribuan kasus serupa. Hal ini bahkan bisa dilakukan menggunakan sistem audit digital atau uji fisik langsung ke lokasi pembangunan.
Penulis yakin KPK memiliki kapasitas dan kewenangan untuk melakukan itu semua. Ketergantungan pada laporan masyarakat justru bisa menjadi celah kebocoran dan keterlambatan penindakan. Proaktif terjun kelapangan “investigasi” setidaknya menjadi kata kunci bagi KPK.
Dibalik itu praktik pengembalian “cost politik” Kepala daerah hasil Pilkada hampir pasti bertumpu pada pengendalian proyek-proyek besar di Dinas PUPR. Maka proses tender pun sering hanya menjadi formalitas, sedangkan keputusan pemenang telah ditentukan secara sepihak di balik meja.
Dalam konteks OTT KPK bukan hanya soal menangkap tangan seseorang yang sedang menerima uang suap. Ini adalah bentuk perlawanan terhadap sistem korupsi yang sudah akut dan berakar, terutama di sektor infrastruktur. Maka, KPK harus mengubah paradigma dari reaktif menjadi proaktif, dari menunggu laporan menjadi pembongkaran sistematis.
Menjadi catatan bersama tidak ada daerah yang steril. Dinas PUPR di kabupaten mana pun patut di audit menyeluruh dan termasuk Dinas PUPR di Tubaba. Jika tidak kita hanya akan melihat penindakan sebagai pertunjukan sesaat, sebaliknya bukan gerakan pembenahan yang substansial.
Sudah saatnya KPK menanggalkan pendekatan konvensional dan menggantinya dengan strategi berbasis intelligence investigation yang kuat, dengan menempatkan Dinas PUPR sebagai sektor rawan yang perlu diawasi terus-menerus.
Sebagai penutup bahwa tulisan artikel sederhana ini dari penulis bukan bermaksud menggeneralisasi bahwa semua kepala daerah atau mereka yang duduk di posisi Dinas PUPR mewakili watak sifat koruptif.
Penulis hanya mengingatkan sebagaimana pesan dari seorang tokoh filsuf abad 19 dari Inggris, Lord Acton, “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely” bahwa kekuasaan (jabatan) yang besar memiliki peluang besar untuk korup.(*)