Oleh: Syarif Al Dhin
NUSAN.ID – Jalanan bolong-bolong seperti wajah remaja puber, pelayanan publik lebih lambat dari sinyal WiFi gratisan, pendidikan mahal seperti tiket konser internasional, dan rumah sakit? Jangan sakit kalau bukan orang dalam.
Namun yang lebih ajaib dari semua itu adalah ekspresi para pejabat kita yang tetap tersenyum lebar seolah semua baik-baik saja. Mungkin karena mereka tidak pernah merasakan naik ojek melintasi kubangan jalan, atau mengurus KTP yang antreannya bisa mengalahkan antrean beli BTS meal.
Dalam dunia para pemimpin yang super sibuk, keluhan rakyat itu mungkin dianggap seperti notifikasi spam: bisa di-swipe saja tanpa dibuka. Maka wajar jika ketika rakyat mengeluh, pejabat justru asyik potong pita peresmian yang belum tentu bermanfaat, selfie di proyek belum rampung, atau sibuk menyiapkan sambutan untuk masalah yang tidak pernah mereka alami.
Kalau sudah begini, kita patut bertanya dengan sopan tapi menusuk: “Pak, Bu, Anda kerja untuk siapa, ya? Untuk rakyat atau untuk dokumentasi Instagram pribadi?”
Sungguh, tidak semua pemimpin buruk. Tapi yang tidak peka itu harusnya sadar diri. Kalau memang telinga sudah tuli terhadap suara rakyat, mata rabun melihat penderitaan di jalanan, dan hati dingin menghadapi tangis publik—mungkin bukan kursi jabatan yang dibutuhkan. Mungkin, lebih cocok ambil paket wisata ke planet lain. Atau, jika masih ada nurani, mundurlah dengan hormat.
Karena rakyat tidak butuh pemimpin yang sibuk pencitraan, tapi lupa merasakan getaran realita di bawah kaki mereka.
Dan ingat, rakyat itu sabar. Tapi jangan diuji terus. Karena ketika kesabaran habis, mungkin bukan sekadar keluhan yang akan muncul tapi gelombang perlawanan yang tak bisa disenyumi lagi.
Di saat sebagian pejabat sibuk nge-vlog dengan latar belakang kantor megah dan mobil dinas mengilap, ada satu sosok yang justru turun ke gang-gang sempit, ngobrol dengan rakyat, dan lebih akrab dengan bau pasar ketimbang aroma ruangan ber-AC: Kang Dedi Mulyadi (KDM).
Sosok satu ini bukan tipe pemimpin yang cuma muncul saat mau nyalon atau ketika kamera wartawan menyala. Dia datang saat rakyat sedang lapar, sakit, atau sekadar butuh didengar. Kalau jalan rusak, KDM tidak menyuruh staf cek laporan, tapi turun langsung—kadang sambil nyeker, demi tahu rasanya jadi warga biasa.
Bandingkan dengan pejabat yang lebih sibuk membaca laporan dari balik meja, sambil berkata, “Situasinya masih dalam tahap evaluasi.” Evaluasi? Jalan sudah 10 tahun jadi kolam lele, masih juga dievaluasi? Atau jangan-jangan menunggu lele panen dulu baru diperbaiki?
KDM menunjukkan bahwa kepekaan itu bukan sekadar program kerja, tapi naluri kemanusiaan. Sementara yang lain, jangankan menyapa rakyat, mungkin alamat kampung warganya pun tak hapal karena terlalu sibuk bolak-balik luar negeri atas nama “studi banding”, padahal yang dibawa pulang cuma oleh-oleh.
Bukan berarti kita mengultuskan KDM. Tapi kalau ada pejabat yang alergi melihat rakyat susah, atau langsung update status defensif tiap dikritik, maka satu saran bijak: mundur saja. Tak semua orang cocok jadi pemimpin—apalagi yang lebih peka terhadap jempol netizen ketimbang jeritan warga miskin.
Maka wahai pejabat, kalau tidak bisa menyamai empati dan aksi nyata seperti KDM, minimal jangan jadi penonton yang menutup telinga dan membuka mulut untuk pembenaran.
Karena rakyat sudah terlalu lama jadi korban dari pemimpin yang sibuk pencitraan, tapi tak punya rasa.(*)
_Penulis adalah Kuli Tinta PPWI dan juga pengamat hukum sosial dan politik_