Oleh: Syarif Al Dhin
NUSAN.ID – Ketika pemerintah menggulirkan program-program prioritas nasional, mulai dari pembangunan infrastruktur hingga proyek strategis, satu hal yang kerap luput dari sorotan publik adalah ongkos fiskalnya. Kini, beban itu semakin nyata dan mengkhawatirkan.
Laporan terbaru Bank Dunia mencatat, rasio utang pemerintah Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) diproyeksikan menembus 40,1% pada 2025 dan naik ke 41,4% pada 2027. Angka itu melampaui target 39,15% dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029.
Kenaikan utang ini sejalan dengan membengkaknya defisit fiskal yang diperkirakan mencapai 2,7% dari PDB—mendekati batas maksimum 3% yang ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara. Untuk menutup defisit, pemerintah terus menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN). Akibatnya, beban bunga utang dalam APBN 2025 melonjak menjadi Rp1.352 triliun, atau setara 37% dari total belanja negara.
Menurut Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS, tren ini berbahaya jika utang digunakan untuk membiayai proyek yang tidak menghasilkan multiplier effect ekonomi. “Kita bisa terjebak dalam spiral utang, di mana bunga dibayar dengan utang baru. Jika tax ratio terus turun, ini bisa menjadi krisis kepercayaan,” ujarnya.
Kekhawatiran ini diperparah oleh data penerimaan pajak. Hingga Maret 2025, penerimaan baru mencapai Rp322,6 triliun atau 14,7% dari target APBN—turun 18,1% dibanding periode yang sama tahun lalu. Ini mencerminkan pelemahan aktivitas ekonomi atau turunnya kepatuhan pajak.
Jika kondisi ini terus berlangsung, ruang fiskal pemerintah akan menyempit. Belanja negara berisiko dikurangi drastis. Subsidi, bantuan sosial, bahkan proyek-proyek daerah bisa terkena imbas.
Skenario terburuk dari tren ini bukan hanya soal angka, melainkan dampak sosial-politik yang nyata. Jika penerimaan negara tak membaik dan utang terus meningkat, maka negara bisa mengalami tekanan fiskal berat: belanja produktif terpangkas, kemiskinan bertambah, dan ketimpangan sosial melebar.
“Dalam jangka panjang, risiko fiskal yang tidak dikendalikan bisa memicu krisis utang, depresiasi rupiah, dan akhirnya gejolak sosial,” kata Faisal Basri, ekonom senior dari UI. “Sejarah negara berkembang menunjukkan, begitu utang dikendalikan pasar dan bukan rakyat, maka prioritas negara ikut berubah.”
Pemerintah mendatang harus menyiapkan strategi fiskal yang lebih rasional dan transparan. Beberapa langkah penting antara lain:
Melakukan reformasi perpajakan progresif, termasuk ekstensifikasi sektor digital dan informal.
Mengkaji ulang proyek yang tidak memberikan nilai tambah ekonomi.
Mengembangkan pembiayaan alternatif non-utang seperti Sovereign Wealth Fund atau optimalisasi BUMN dan aset negara.
Meningkatkan transparansi penggunaan utang untuk menghindari pemborosan dan moral hazard.
Lebih dari itu, diperlukan keberanian politik untuk mengatakan tidak terhadap proyek-proyek yang hanya bersifat kosmetik atau politis, dan mengembalikan arah fiskal negara kepada kepentingan rakyat secara langsung.
Jika Indonesia ingin keluar dari bayang-bayang jurang fiskal, maka sekarang adalah saatnya untuk bertindak. Menunda berarti menggali lebih dalam lubang yang pada akhirnya akan menjadi liang bagi masa depan fiskal negeri ini.(*)
Penulis adalah Kuli Tinta PPWI merangkai opini untuk sebagai bahan renungan



















